Disinilah sulap demokrasi bermula. Rakyat beranggapan dan memang dimanipulasi supaya tetap beranggapan bahwa kedaulatan di tangan mereka.
Padahal faktanya yang memegang kedaulatan itu adalah para anggota parlemen. Kedaulatan rakyat disederhanakan begitu rupa menjadi sekedar kedaulatan parlemen atau kedaulatan anggota parlemen. Sebab merekalah yang menetapkan undang-undang dan hukum, bukan rakyat. Rakyat hanya diharuskan tetap berasumsi bahwa undang-undang produk parelemen hakekatnya dibuat oleh rakyat.
Kedaulatan anggota parlemen sendiri masih bisa dipertanyakan. Faktanya anggota parlemen ternyata tidak independen. Mereka tetap harus mengikuti garis kebijakan dan pendapat partai. Itu artinya mereka harus mengikuti kehendak para elit partai termasuk dalam pembuatan undang-undang. Karena itu, elit partai itulah yang lebih berdaulat dari para anggota parlemen.
"Apakah Penguasa, Wakil Rakyat di Parlemen yang merupakan Produk Demokrasi itu, bener-benar memihak kepada rakyat?"
Hal yang sama juga terjadi pada perwujudan kedaulatan rakyat dalam pemilihan pemimpin. Rakyat tidaklah independen memilih penguasa. Rakyat "dipaksa" memilih calon pemimpin yang disodorkan oleh Parpol, Kedaulatan Rakyat memilih Penguasa sudah dibatasi oleh Parpol.
Untuk jadi Penguasa butuh dana besar, untuk "mahar" dan biaya kampaye. Dari mana dana besar itu diperoleh? Lagi-lagi dari para Pemilik Modal.
Dengan titik tolak di atas, semua itu membawa implikasi berbahaya. Pertama Peraturan Perundangan produk Parlemen, terutama tentang Ekonomi, cenderung berpihak kepada Pemilik Modal. Kedua Kebijakan Pemerintah melalui proses politik seperti itu pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan Pengusaha yang telah mendukungnya.
Tidak ada komentar: