MUARA TEWEH – Sejak tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Barito Utara (Barut) telah mengusulkan ke Pemerintah Pusat agar Panglima Batur menjadi pahlawan nasional. Usulan ini sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda 1865-1905.
Tahapan demi tahapan telah dilakukan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional. Baik dari pembuktian sejarah dan seminar di kabupaten, provinsi hingga seminar nasional yang digelar pada Senin (11/4) di Aula Eka Hapakat Kantor Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng).
Pemkab Barut juga telah membangun Monumen Panglima Batur setinggi 4 meter terbuat dari tembaga dengan berat 800 kilogram yang diresmikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta pada 9 Maret 2010 lalu.
Bupati Barut Nadalsyah dalam sambutannya saat menghadiri Seminar Nasional Pengusulan Panglima Batur menjadi Pahlawan Nasional mengungkapkan, selama ini tahapan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional sudah dilakukan dengan baik.
Bahkan, Pemerintah Barut juga sudah membentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) yang ditangani oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Barito Utara. Usulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional secara substansial sudah lengkap, tetapi harus memenuhi beberapa prosedur lagi.
“Usulan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional kepada pemerintah pusat itu sebagai bentuk penghormatan kepada pejuang, apalagi Panglima Batur adalah putra kelahiran Kabupaten Barito Utara,” ungkapnya.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Kalteng dalam laporannya menyebut, kegiatan seminar ini adalah rangkaian untuk mewujudkan harapan masyarakat Kalteng, terutama Kabupaten Barut menjadikan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional.
Seminar tersebut selain dihadiri ratusan tokoh masyarakat, agama, pemuda dan pelajar juga dihadiri para sejarawan dan perwakilan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Sejarah Perang
Panglima Batur dikenal sebagai pejuang gigih melawan penjajah. Panglima (Pangkalima) perang Suku Dayak ini bersama pasukannya hanya berbekal senjata sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan perang lengkap.
Panglima Batur yang bernama Batur bin Barui lahir pada 1852 di Desa Buntok Kecil, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, desa di pinggiran Sungai Barito. Saat berusia 35 tahun, ia menikahi Samayap binti Kimat pada 1887.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran Panglima Batur berada di sekitar Desa Buntok, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh), bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito, terutama di sepanjang Sungai Barito yang dikenal sebagai basis perlawanan wilayah barat.
Pada akhir Desember 1904, Panglima Batur dipercaya menjadi utusan Sultan Muhammad Seman menghadap Raja Pasir Kalimantan Timur meminta bantuan senjata dan mesiu untuk persiapan amunisi cadangan. Tetapi saat ia kembali dari Kerajaan Pasir, Benteng Baras Kuning telah runtuh terbakar diserang oleh Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan Korps Marechaussee te Voet (marsose) yang terkenal ganas dan bengis.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan gugur sebagai kusuma bangsa, kemudian dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu pada 1905. Saat itu Panglima Batur tetap terus bertekad mengobarkan perlawanan di wilayah Barito untuk melawan penjajah.
Beberapa panglima yang juga membantu Batur waktu itu, Panglima Bitik Bahe (Lanjas), Damang Luntung Pendreh, Damang Laju Jingah, Tamanggung Bahi dan Tamanggung Lawas Lahei (Sungai Lahei) serta masih banyak lagi.
Akibat perlawanannya, Batur dicap sebagai pemberontak berbahaya yang tidak mau menyerah dan tak mau diajak berunding. Belanda kemudian menggelar sebuah operasi militer, lalu menyerang dan membakar rumah Panglima Batur beserta keluarganya di Desa Buntok Kecil. Sedangkan Batur yang bersembunyi di pondok Muara Mariak bersama ibundanya juga diserang habis-habisan.
Meski Batur dapat meloloskan diri, namun ibundanya meninggal dunia. Ibunda Batur dikuburkan di Sampanga sekitar 2 kilometer dari Buntok Kecil.
Merasa kesulitan menangkap Batur, Belanda kemudian merencanakan siasat licik. Batur terkenal sangat mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Batur.
Banyak keluarga dan kerabat Batur yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara di Muara Teweh dan dijadikan sandera untuk memancingnya agar mau memenuhi panggilan Belanda. Situasi makin memilukan hati Batur setelah tersiar kabar bahwa seluruh anak laki-laki di Desa Lemo dan Buntok Kecil akan ditangkap apabila Batur tidak memenuhi panggilan ke Muara Teweh.
Akhirnya Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh untuk berunding, tapi nyatanya itu hanya jebakan. Dia ditangkap oleh Letnan Christoffel dibantu Letnan VH Vink, 2 pekan lamanya Batur mendekam di penjara Muara Teweh, lalu dibawa ke Banjarmasin.
Batur kemudian ditahan di penjara di Banjarmasin untuk menjalani proses pengadilan, mulai dari Landraad Marabahan, Pengadilan Tinggi Belanda di Surabaya, dan Mahkamah Konstitusi Belanda di Batavia menetapkan Panglima Batur bersalah atas tuduhan makar.
Pada 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya adalah minta dibacakan “dua kalimah syahadat” untuknya. Ia dimakamkan di belakang Masjid Jami Banjarmasin, kemudian pada 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
Tahapan demi tahapan telah dilakukan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional. Baik dari pembuktian sejarah dan seminar di kabupaten, provinsi hingga seminar nasional yang digelar pada Senin (11/4) di Aula Eka Hapakat Kantor Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng).
Pemkab Barut juga telah membangun Monumen Panglima Batur setinggi 4 meter terbuat dari tembaga dengan berat 800 kilogram yang diresmikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta pada 9 Maret 2010 lalu.
Bupati Barut Nadalsyah dalam sambutannya saat menghadiri Seminar Nasional Pengusulan Panglima Batur menjadi Pahlawan Nasional mengungkapkan, selama ini tahapan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional sudah dilakukan dengan baik.
Bahkan, Pemerintah Barut juga sudah membentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) yang ditangani oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Barito Utara. Usulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional secara substansial sudah lengkap, tetapi harus memenuhi beberapa prosedur lagi.
“Usulan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional kepada pemerintah pusat itu sebagai bentuk penghormatan kepada pejuang, apalagi Panglima Batur adalah putra kelahiran Kabupaten Barito Utara,” ungkapnya.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Kalteng dalam laporannya menyebut, kegiatan seminar ini adalah rangkaian untuk mewujudkan harapan masyarakat Kalteng, terutama Kabupaten Barut menjadikan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional.
Seminar tersebut selain dihadiri ratusan tokoh masyarakat, agama, pemuda dan pelajar juga dihadiri para sejarawan dan perwakilan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Sejarah Perang
Panglima Batur dikenal sebagai pejuang gigih melawan penjajah. Panglima (Pangkalima) perang Suku Dayak ini bersama pasukannya hanya berbekal senjata sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan perang lengkap.
Panglima Batur yang bernama Batur bin Barui lahir pada 1852 di Desa Buntok Kecil, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, desa di pinggiran Sungai Barito. Saat berusia 35 tahun, ia menikahi Samayap binti Kimat pada 1887.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran Panglima Batur berada di sekitar Desa Buntok, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh), bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito, terutama di sepanjang Sungai Barito yang dikenal sebagai basis perlawanan wilayah barat.
Pada akhir Desember 1904, Panglima Batur dipercaya menjadi utusan Sultan Muhammad Seman menghadap Raja Pasir Kalimantan Timur meminta bantuan senjata dan mesiu untuk persiapan amunisi cadangan. Tetapi saat ia kembali dari Kerajaan Pasir, Benteng Baras Kuning telah runtuh terbakar diserang oleh Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan Korps Marechaussee te Voet (marsose) yang terkenal ganas dan bengis.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan gugur sebagai kusuma bangsa, kemudian dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu pada 1905. Saat itu Panglima Batur tetap terus bertekad mengobarkan perlawanan di wilayah Barito untuk melawan penjajah.
Beberapa panglima yang juga membantu Batur waktu itu, Panglima Bitik Bahe (Lanjas), Damang Luntung Pendreh, Damang Laju Jingah, Tamanggung Bahi dan Tamanggung Lawas Lahei (Sungai Lahei) serta masih banyak lagi.
Akibat perlawanannya, Batur dicap sebagai pemberontak berbahaya yang tidak mau menyerah dan tak mau diajak berunding. Belanda kemudian menggelar sebuah operasi militer, lalu menyerang dan membakar rumah Panglima Batur beserta keluarganya di Desa Buntok Kecil. Sedangkan Batur yang bersembunyi di pondok Muara Mariak bersama ibundanya juga diserang habis-habisan.
Meski Batur dapat meloloskan diri, namun ibundanya meninggal dunia. Ibunda Batur dikuburkan di Sampanga sekitar 2 kilometer dari Buntok Kecil.
Merasa kesulitan menangkap Batur, Belanda kemudian merencanakan siasat licik. Batur terkenal sangat mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Batur.
Banyak keluarga dan kerabat Batur yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara di Muara Teweh dan dijadikan sandera untuk memancingnya agar mau memenuhi panggilan Belanda. Situasi makin memilukan hati Batur setelah tersiar kabar bahwa seluruh anak laki-laki di Desa Lemo dan Buntok Kecil akan ditangkap apabila Batur tidak memenuhi panggilan ke Muara Teweh.
Akhirnya Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh untuk berunding, tapi nyatanya itu hanya jebakan. Dia ditangkap oleh Letnan Christoffel dibantu Letnan VH Vink, 2 pekan lamanya Batur mendekam di penjara Muara Teweh, lalu dibawa ke Banjarmasin.
Batur kemudian ditahan di penjara di Banjarmasin untuk menjalani proses pengadilan, mulai dari Landraad Marabahan, Pengadilan Tinggi Belanda di Surabaya, dan Mahkamah Konstitusi Belanda di Batavia menetapkan Panglima Batur bersalah atas tuduhan makar.
Pada 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya adalah minta dibacakan “dua kalimah syahadat” untuknya. Ia dimakamkan di belakang Masjid Jami Banjarmasin, kemudian pada 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
Tidak ada komentar: